Setiap orang
mendeskripsikan kata ‘seru’ dengan berbeda-beda, untuk arif, mahasiswa jurusan
broadcasting, seru adalah kata yang
tepat untuk mendeskripsikan kegiatan membuat film dan naik gunung. Terkadang ia
pun menggabungkan kedua aktifitas yang dicintainya tersebut.
“Ada film di
youtube.. itu kaya film documenter, naik gunung gitu kan, Ada 3 gunung di video
itu, video nya gue bikin sendiri bikin sendiri, edit sendiri terus masukin ke
youtube,” tuturnya dengan semangat.
Ketika naik
gunung,, itu adalah saat – saat dimana menurut arif, ia harus melawan dirinya
sendiri. Sakit karena kedinginan sudah menjadi hal yang biasa dan tidak
menghambat arif untuk terus mendaki sampai ke puncak gunung, Ketika sampai di
puncak gunung, itu adalah moment yang tidak bisa ia lupakan. Ia selalu meneteskan air mata ketika sampai
di puncak gunung, namun hal tersebut bukan tanpa alasan.
“Ya digunung
kan kita bukan apa apa ya.. istilahnya, cemen.. kita ngga ada apa-apa nya, tapi
kita bisa muncakin itu gunung.. “ jelasnya.
Kecintaanya
pada dunia film, sama besarnya dengan kecintaanya pada gunung. Hobi nya
tersebut ia puaskan dengan berbagai hal. Pertama, dengan mengambil jurusan
broadcasting dimana ia bisa menceburkan diri lebih dalam di dunia yang ia
cintai. Kedua, dengan membuat film diluar tugas kuliah dengan menggunakan
ipodnya, lalu memamerkan karya nya di situs youtube. Terakhir, dengan menonton
karya orang lain sehingga ia bisa sekaligus teknik teknik pembuatan film.
Dana menjadi
suatu batasan mengapa ia tidak bisa melakukan kedua hal tersebut sesering yang
ia mau. Namun, arif tidak memusingkan hal tersebut. Nongkrong dengan
teman-teman nya juga membawa kesenangan untuknya. Ia sudah senang bila dapat menikmati kopi atau
beer bersama teman-temanya, obralan yang seru dan juga dilengkapi dengan
petikkan gitar yang dimainkan oleh teman temanya. Untuk masalah tempat, arif
dan teman-temanya lebih memilih di rumah teman. Bergiliran mereka menjadikan
rumah nya sebagai tempat ‘nongkrong’. Bahkan, tidak sungkan mereka nongkrong di
pinggir jalan. “Kalo rame-rame, di pinggir jalan pun jadi!” serunya ketika
ditanya apakah ada tempat lain selain rumah temanya yang ia dan teman-temanya suka jadikan tempat
nongkrong.
Tapi ada
satu tempat yang ia coba hindari sebisa mungkin. Tempat yang menjadi pilihan
banyak orang menghabiskan waktu luangnya, tapi tidak dengan Arif. Tempat
tersebut adalah Mall. Arif mempunyai alasan tersendiri mengapa ia tidak suka
pergi ke mall. Ia merasa didiskriminasikan oleh mall.
“Kaum kaum
kapitalis yang di mall. Apa ya, kaya mendiskriminasikan gitu. Kita kan
kebanyakan bawa motor, ngga selamanya kita bawa mobil, kalo ada event tertentu
aja kan kita bawa mobil. Gini deh, misalnya di pim deh, parkiran motornya dibuat
jauh banget, citos juga. Jadi pengendara motor ngerasa kediskriminasi. Terus
liat deh, motor yang CC nya gede kan juga ada pakiranya sendiri, bareng sama
mobil-mobil. Kita doang yang parkiranya jauh. Itu bikin kita ngerasa
didiskriminasi..”
Bila tidak
terpaksa, arif tidak akan pergi ke mall. Ia menambahkan “Lagian ada apa sih di
mall? Itu itu aja kan?” Dengan raut muka yang mulai terlihat kesal. Namun raut
mukanya mulai berubah ketika kembali lagi kami membicarakan tentang kegiatanya
nongkrong bareng teman-temanya. Ia menuturkan, selain hanya nongkrong, ia pun
aktif berolahraga bareng bersama sama dengan teman-temanya. Rutin seminggu
sekali mereka merencanakan futsal di tempat yang berbeda. Seperti ketika saya
menemuinya, ia baru saja selesai bermain futsal bersama teman-temanya di
lapangan SMA Cendrawasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar