Rabu, 24 September 2014

“Hobi dari Seseorang yang Merasa Terdiskriminasi di Mall”


Setiap orang mendeskripsikan kata ‘seru’ dengan berbeda-beda, untuk arif, mahasiswa jurusan broadcasting,  seru adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kegiatan membuat film dan naik gunung. Terkadang ia pun menggabungkan kedua aktifitas yang dicintainya tersebut.

“Ada film di youtube.. itu kaya film documenter, naik gunung gitu kan, Ada 3 gunung di video itu, video nya gue bikin sendiri bikin sendiri, edit sendiri terus masukin ke youtube,” tuturnya dengan semangat.

Ketika naik gunung,, itu adalah saat – saat dimana menurut arif, ia harus melawan dirinya sendiri. Sakit karena kedinginan sudah menjadi hal yang biasa dan tidak menghambat arif untuk terus mendaki sampai ke puncak gunung, Ketika sampai di puncak gunung, itu adalah moment yang tidak bisa ia lupakan.  Ia selalu meneteskan air mata ketika sampai di puncak gunung, namun hal tersebut bukan tanpa alasan.

“Ya digunung kan kita bukan apa apa ya.. istilahnya, cemen.. kita ngga ada apa-apa nya, tapi kita bisa muncakin itu gunung.. “ jelasnya.

Kecintaanya pada dunia film, sama besarnya dengan kecintaanya pada gunung. Hobi nya tersebut ia puaskan dengan berbagai hal. Pertama, dengan mengambil jurusan broadcasting dimana ia bisa menceburkan diri lebih dalam di dunia yang ia cintai. Kedua, dengan membuat film diluar tugas kuliah dengan menggunakan ipodnya, lalu memamerkan karya nya di situs youtube. Terakhir, dengan menonton karya orang lain sehingga ia bisa sekaligus teknik teknik pembuatan film.

Dana menjadi suatu batasan mengapa ia tidak bisa melakukan kedua hal tersebut sesering yang ia mau. Namun, arif tidak memusingkan hal tersebut. Nongkrong dengan teman-teman nya juga membawa kesenangan untuknya. Ia  sudah senang bila dapat menikmati kopi atau beer bersama teman-temanya, obralan yang seru dan juga dilengkapi dengan petikkan gitar yang dimainkan oleh teman temanya. Untuk masalah tempat, arif dan teman-temanya lebih memilih di rumah teman. Bergiliran mereka menjadikan rumah nya sebagai tempat ‘nongkrong’. Bahkan, tidak sungkan mereka nongkrong di pinggir jalan. “Kalo rame-rame, di pinggir jalan pun jadi!” serunya ketika ditanya apakah ada tempat lain selain rumah temanya yang ia  dan teman-temanya suka jadikan tempat nongkrong.

Tapi ada satu tempat yang ia coba hindari sebisa mungkin. Tempat yang menjadi pilihan banyak orang menghabiskan waktu luangnya, tapi tidak dengan Arif. Tempat tersebut adalah Mall. Arif mempunyai alasan tersendiri mengapa ia tidak suka pergi ke mall. Ia merasa didiskriminasikan oleh mall. 

“Kaum kaum kapitalis yang di mall. Apa ya, kaya mendiskriminasikan gitu. Kita kan kebanyakan bawa motor, ngga selamanya kita bawa mobil, kalo ada event tertentu aja kan kita bawa mobil. Gini deh, misalnya di pim deh, parkiran motornya dibuat jauh banget, citos juga. Jadi pengendara motor ngerasa kediskriminasi. Terus liat deh, motor yang CC nya gede kan juga ada pakiranya sendiri, bareng sama mobil-mobil. Kita doang yang parkiranya jauh. Itu bikin kita ngerasa didiskriminasi..”

Bila tidak terpaksa, arif tidak akan pergi ke mall. Ia menambahkan “Lagian ada apa sih di mall? Itu itu aja kan?” Dengan raut muka yang mulai terlihat kesal. Namun raut mukanya mulai berubah ketika kembali lagi kami membicarakan tentang kegiatanya nongkrong bareng teman-temanya. Ia menuturkan, selain hanya nongkrong, ia pun aktif berolahraga bareng bersama sama dengan teman-temanya. Rutin seminggu sekali mereka merencanakan futsal di tempat yang berbeda. Seperti ketika saya menemuinya, ia baru saja selesai bermain futsal bersama teman-temanya di lapangan SMA Cendrawasih.






           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar