Bapak Opik, salah satu dari banyak orang yang
mengadu nasib di Ibukota. Harapan akan peluang pekerjaan yang banyak,
membuatnya rela meninggalkan kampong halamanya di Indramayu pada tahun 1998.
Bersama temanya bapak Karim yang berasal dari kampong yang sama, kini harapanya
yang dulu tinggi terhadap Jakarta, kian memudar dengan kenyataan pahit bahwa
kehidupan di Jakarta tidak seindah yang ia bayangkan ketika ia masih di kampong
halaman. Kini ia menerima nasib banting tulang menjadi tukang sampah di daerah
Jakarta Utara. Di sela sela waktunya, bapak Opik memiliki pekerjaan sampingan
yaitu mengupas botol Aqua dan mengolah limbah daur ulang. Apapun ia lakukan
untuk keluarga. Istri dari pak Opik pun ikut bekerja membanting tulang. “Makan
ya tergantung kerja mingguan sama dibantu istri..” ujarnya lembut.
Setelah berkeluarga, Pak Opik lebih senang
menghabiskan waktu luangnya yang terbatas bersama keluarga. “Kalo diajak maen
sama temen saya gasuka. Saya udah gabisa sekarang mah udah gakayak dulu.” Jelas
Pak Opik. Sebenarnya, pak Opik memiliki hobi tersendiri diluar menghabiskan
waktu bersama keluarganya yaitu main futsal dan main catur. Namun dengan
sempitnya waktu luang, pak Opik lebih memilih bersama keluarga. Kedua hobi nya
tersebut sudah jarang ia lakoni.
Dirinya mengaku pernah mengunjungi tempat
wisata bersama keluarga nya seperti Museum Fatahilah dan hal tersebut
membuatnya senang. Ia bersyukur karena untuk masuk tempat wisata tersebut tidak
dikenakan biaya. Anak pak Opik ingin sekali dapat mengunjungi dufan, dan pak
opik ingin sekali mengajak anaknya ke Dufan, namun terhalang oleh tingginya
harga tiket masuk Dufan. Pak Opik tidak
putus asa, ia berniat akan bekerja keras untuk dapat mewujudkan impian anaknya.
Ketika ditanya tempat yang ia paling tidak
sukai, ia menjawab “Mall! Saya gasuka ke mall..” Alasanya, “Ya gasuka ke mall,
kalo ke mall jarang soalnya mahal jarang kebeli”. Dirinya mengharapkan ke depan
nya pemerintah membuka tempat wisata yang gratis seperti misalnya Taman. Karena
menurutnya taman di Jakarta masih sedikit. Menurutnya, ia suka menghabiskan
waktu di taman bersama keluarganya, anaknya pun senang. “(anak) lelarian aja,
jalan sono jalan sini” Ujar pak Opik.
Ia adalah laki-laki yang bertanggung jawab
dan sangat mengutamakan kepentingan keluarga diatas dirinya sendiri, karena itu
ketika ada kebutuhan keluarganya yang tidak bisa ia penuhi, ia merasa sedih.
“Kalo lagi gapunya uang, mau minta tolong sm
siapa ortu ga ada sodara ga ada, serasa mau nangis aja kalo gapunya uang tuh,
anak jajan ga ada uang, kecuali kalo abis gajian suka tapi besok udah abis
lagi,” tuturnya.
“Kumpulin modal aja biar bisa jualan di
Kampung, bosen di Jakarta..” Begitu kata pak opik. Itulah tujuan pak opik saat
ini. Sedikit demi sedikit ia mengumpulkan modal untuk membuka usaha di kampong.
Bila ada yang bisa ia sisihkan dari uang gaji nya, maka ia sisihkan. Demi satu
tujuan, yaitu kembali lagi ke kampong halaman nya di Jawa dan meninggalkan
Jakarta yang semula terlihat memberi harapan kepada Pak Opik. Tentunya harapan
yang sama di miliki oleh banyak orang yang memutuskan mengadu nasib di Jakarta.
Sayangnya, tidak semua harapan dapat di wujudkan di Jakarta. Sekarang
harapan-harapan tersebut terasa seperti harapan yang palsu. Kini perasaan
tersebut sirna sudah, yang tersisa hanyalah keinginan untuk dapat kembali lagi
ke Kampung halaman yang tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar